16 Agustus, 2012

Korelasi Antara Praktek Kanibalisme Terhadap Langkanya Jumlah Pohon di Dunia.

Berawal dari membaca sebuah tulisan blog berjudul Pilihan dan Tanggungjawab. Mendadak terbersit dalam fikiran gue untuk menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh sang blogger sahabat karib gue dalam posting-annya tersebut.

"Jika di bumi ini cuma tersisa lima pohon dengan pertumbuhan penduduk yang konstan, apa yang akan kita lakukan?."

 Jika hal itu benar-benar terjadi, menurut gue. Mungkin manusia akan berubah menjadi kanibal, memakan sesama manusia sebagai cara untuk bertahan hidup. Sangat sulit menemukan daging untuk dimakan, karena rantai makanan telah rusak, dimulai dari punahnya hewan herbivora dan manusia penganut paham vegetarianism. Yang tersisa hanyalah spesies omnivora dengan spesies yang sangat berlimpah, melebihi jumlah spesies lainnya. Primata, mungkin itu sebutannya.

Saat manusia mengkonsumsi makanan mereka - manusia. Mereka tidak mempedulikan apakah makanan itu dimasak terlebih dahulu atau tidak. Mereka suka memakan manusia hidup-hidup. Dimulai dengan mengunyah bagian mata, jantung, lalu otak yang mengandung banyak cairan. Mereka haus, bibir mereka pecah-pecah, kaki mereka apa lagi.. Air untuk minum menjadi suatu yang sangat sulit didapatkan. Sungai yang mengalir hanya setinggi 1 cm pun dibendung demi kepentingan suatu negara besar. Air tawar adalah benda berharga yang diperebutkan seperti halnya minyak bumi bertahun-tahun lama sebelumnya.

Siklus hujan menjadi jarang, karena suhu permukaan meningkat. Bumi tidak lagi mampu menyokong kehidupan di atasnya. Tanah tidak lagi bisa membuat dirinya subur, karena berbagai organisme dalam tanah yang sebelumnya hidup dengan membuat lubang dan memberi ruang bagi oksigen untuk masuk ke dalamnya secara perlahan menghilang. Akhirnya tanah menjadi kerontang sehingga mempercepat pengerosian. Cepat lambat bumi tempat tinggal manusia kanibal itu pun berakhir kering seperti halnya dataran Mars atau bahkan menyerupai satelitnya sendiri, Bulan. Tidak adanya proses respirasi yang dilakukan oleh pohon-pohon besar. Menyebabkan udara kotor dengan kadar Co2 melimpah sehingga menyebabkan masalah pernapasan di dalam tubuh kanibal yang renta itu. Tubuh mereka mulai dialiri oleh darah yang mulai menggumpal akibat meminum darah manusia dari berbagai rhesus dan jenis golongan. Saat hal itu terjadi. Sepertinya, manusia tidak perlu berfikir panjang atau bahkan berbuat apa-apa lagi. Karena seperti halnya pohon, mereka sendiri tidak punya pilihan untuk bertahan hidup.

Di sini tidak ada yang bisa membeli kehidupan, seseorang yang kaya dengan genggaman dolar di tangan pun akan membiarkan dirinya mati gelisah dalam gemetar di saat dirinya diikat dengan sodoran pisau oleh kanibal, sehingga saat matanya dicongkel dia kemudian mati perlahan dalam sebuah nama besar (yang belum tentu dikenang). Sesaat setelah dia merelakan tubuhnya ditusuk lalu dimakan, angin pun meniup lembaran uang dalam genggamannya yang mulai melemah dalam keadaan gentar.

Lalu.

Muncul pertanyaan lain. Di saat manusia tidak lagi dapat mengandalkan teknologi yang mereka ciptakan untuk mensejahterakan hidup mereka sebelumnya. Apakah dalam situasi seperti ini 7 miliar manusia kemudian akan berdoa berharap suatu keajaiban?. Atau berusaha realistis, dengan menjadi kanibal untuk dapat bertahan?

--

Hoaamm.. Ya, belum terjadi juga sih. Makanya mulai jaga lingkungan.

22 Juli, 2012

Gue Harap Gue Seekor Ikan Yang Bisa Merendam Kepala Dalam Air Selama-lamanya..

Pagi hari tadi sebelum sahur, gue bangun dalam keadaan harus mandi junub (mandi wajib). Sebenarnya keadaan tersebut tidak menyenangkan sama sekali, karena selama seminggu ke belakang ini. Suhu di Bandung cukup dingin, di mana mandi saat subuh bukanlah keputusan yang tepat. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan selain mengerjakannya jika ingin pahala puasa gue diterima.

Tidak ada yang tahu. Sebelum mandi, sebenarnya gue punya suatu kebiasaan merendam kepala gue ke dalam bak mandi. Tidak ada alasan yang tepat, yang mampu menjelaskan tentang kebiasaan ini. Gue hanya tau, bahwa hal ini sudah gue lakukan dari kecil dulu.

Tapi, ada yang berbeda saat gue merendam kepala tadi pagi. Tiba-tiba karena itu, gue teringat berbagai kejadian yang terjadi beberapa bulan ke belakang yang secara tidak langsung telah merendam kepala gue..

dalam rasa malu.

--

Sebagai seorang yang spontan. Sering kali gue berkata salah setiap waktu. Saat hal tersebut terjadi, biasanya gue selalu berusaha merangkak keluar dari situasi memalukan tersebut. Tapi, semakin gue berusaha, semakin tenggelam kepala gue dalam perasaan malu.

Beberapa bulan yang lalu, gue bertemu dengan seorang teman akrab sewaktu kecil di Depok. Dia membawa empat orang temannya. Dua laki-laki dan dua perempuan. Kita berbicara tentang semua kenangan-kenangan manis yang telah terjadi di masa lalu dan semua orang saling bergantian bercerita. Pembicaraan terdengar baik-baik saja sampai akhirnya gue berkata : "Hey, katanya kamu sudah menikah, kenapa kamu tidak membawa istrimu?. Saya mau bertemu."

Teman gue terlihat bingung lalu berkata, "Ini istriku, di sini". Seorang perempuan yang duduk di sampingnya mendadak menunjukkan perasaan tidak nyaman.

Sadar telah berkata salah. Gue segera bilang, "Maaf, kamu belum memperkenalkannya kepadaku."

Dia bilang, "Sudah, di pernikahan kami."

Jika ada yang memberikan pistol waktu itu, gue siap bunuh diri saat itu juga.

Seminggu yang lalu, gue tak sengaja bertemu dengan seorang teman di luar. Kita berdua biasanya bercanda mengenai kejelekan rupa kita berdua yang mungkin akan membuat kita sulit mendapatkan istri di masa depan. Di sana, gue juga bertemu dengan seorang perempuan cantik yang kebetulan sedang jalan berdua dengannya. Mungkin temannya. Karena gak mungkin itu pacarnya. "Orang jelek itu, wanita cantik ini?". Pasti temannya - Gue berusaha meyakinkan diri gue dalam hati. Jadi kita bertiga kemudian memutuskan untuk berbincang-bincang untuk sementara waktu.

Setelah mengobrol beberapa saat, akhirnya, si perempuan berkata, "Saya harus pulang sekarang, sudah malam."

Di saat yang sama teman gue pun berkata, "Saya juga harus pulang."

"Kenapa?" Gue bertanya.

"Saya harus antar perempuan cantik ini pulang, karena dia.." dia bilang sembari tertawa, lalu menaruh tangannya melingkari pundak perempuan tersebut.

Gue fikir dia sedang bercanda. Lalu gue berkata ke perempuan tersebut, "Pasti horror banget yah kalau misalkan kamu pacaran sama dedemit buruk rupa ini?."

Mereka tertawa awalnya. Gue juga tertawa. Kemudian teman gue berusaha melihat apakan gue serius saat mengatakan itu. Akhirnya dia berkata, "Kamu tau kan kalau kita berdua pacaran?." 

Gue masih tertawa karena gue pikir dia sedang bercanda. Kemudian mukanya berubah menjadi serius dengan garis tegas melipat di dahinya, "Dia pacar saya." Di situlah gue sadar bahwa dia tersinggung, dan apa yang baru gue katakan tadi adalah salah.

"Pistol, mana. Pistol!"

Beberapa minggu lalu, kejadian serupa terjadi lagi.

Dalam suatu pertemuan dengan teman lama di Bandung, akhirnya gue bertemu dengan seorang teman lama perempuan. Informasi terakhir yang gue dapat adalah dia sedang mengandung anak pertamanya, dan dia menjadi gendut karena itu. Kita semua kemudian bercakap-cakap, sampai akhirnya gue bilang ke perempuan itu, "Coba gue tebak, bayi yang dikandung pasti perempuan."

"Ya." dia bilang.

"Tau nggak kenapa gue tau? Karena kamu terlihat lebih cantik. Saat seorang wanita sedang hamil dan terlihat cantik, bayinya pasti perempuan," Gue bilang. Sebagai teman yang baik, gue berusaha memberinya pujian. Karena, gue fikir setiap perempuan yang sedang mengandung pasti takut akan perubahan fisik pada dirinya. "Sudah berapa bulan?" tanya gue lagi.

"Bayinya sudah lahir dua bulan lalu. Sekarang saya sedang berusaha menurunkan berat badan. Memang masih keliatan kayak hamil yah?."


--
DORR!!
--

Kalimat tersebut benar-benar menembak gue - dalam arti yang sebenarnya. Gue benar-benar  tenggelam dalam perasaan malu.

"Ga usah khawatir, Ndu. Kamu adalah orang keduapuluh yang berkata begitu," sautnya dengan senyuman sinis.

Ga beberapa lama kemudian, gue meminta izin pulang lalu berjalan perlahan ke pintu keluar. Beberapa orang bertanya, "Mau ke mana?". Gue bilang, "Jangan buat gue buka mulut ini."

Sampai di rumah, gue masuk ke dalam kamar gue yang berantakan dengan isi tumpukan buku referensi penelitian gue di mana-mana. Gue bilang ke mereka, "Brengsek loe (buku-buku)!!. Gara-gara terlalu banyak menyita waktu sama lo, gue jadi lupa caranya interaksi sama manusia!."

Gue menendang tumpukan buku itu, dan kamar gue jadi lebih berantakan dari sebelumnya. Tidak ada yang membantu membereskannya.

Tak lama, gue memutuskan untuk mandi. Mengisi air dalam bak hingga penuh. Kemudian melihat ke dalam bak tersebut,

lalu merendam kepala ini..