18 Desember, 2009

Traveling Bali : Pulau Dewata di Mana Suara Orang Kawin pun Terdengar Jelas di Sana.

Tepatnya saat bulan Februari 2007 saat gua sedang berulang tahun ke-20, saat itu untuk pertama kalinya gua pergi ke pulau dewata, Bali. Bali menjadi pilihan gua , karena.. Selama dua puluh tahun gua hidup, gua sama sekali belum pernah pergi ke sana. :) 

Selain itu, hal yang membuat gua akhirnya memutuskan untuk ke sana adalah rasa penasaran gua yang amat sangat terhadap profinsi tersebut, mengingat Bali adalah satu dari banyak profinsi andalan di Indonesia.

Banyak orang berkata, sekalinya kita menapakkan kaki di sana, sekalinya kita akan terus terkenang untuk bisa menyinggahinya lagi. Pada kesempatan itu pun, untuk pertama kalinya gua mencoba terbang dengan maskapai berbiaya rendah setelah bertahun-tahun bisnis tersebut menggembangkan sayapnya di negeri ini.

Dalam perencanaan ke Bali tahun 2007 lalu, gua mencari berbagai informasi mengenai penginapan-penginapan murah yang adai di sini. Di sini gua sempat mendengar pendapat-pendapat yang datang dari teman-teman yang sudah pernah pergi ke sana. Mereka semua sepakat berkata, “Walaw low season, ada baiknya lo dapat penginapan dulu. Kadang sulit mencari penginapan murah jika tiba-tiba.”

Saat itu gua pergi dengan seorang teman baik. Jauh hari sebelum keberangkatan, gua sudah membagi tugas dahulu dengan dia. Pembagian tugasnya adalah gua mencari tiket penerbangan murah, sedangkan dia mencari penginapan murahnya. Setelah tiket di dapat, ongkos jalan-jalan disiapkan, serta intinerary yang telah matang. Bisa dikatakan gua telah siap untuk berangkat ke sana.

***

Sesaatnya pesawat mendarat di bandara Ngurah Rai. Gua lalu bertanya kepada dia, “Jadi kita akan tinggal di mana?”. Dengan ringannya dia menjawab, “belum, tau, tuh..”.

Mendengar jawaban itu, gua pun marah seketika.. Tanpa mempedulikan teman gua, gua segera mencari counter pemesanan penginapan di bandara saat itu. Gua masih ingat dengan saran-saran teman gua sebelum gua berangkat ke sana, “…ada baiknya lo dapat penginapan dulu. Kadang sulit mencari penginapan murah jika tiba-tiba.”

“Maaf mbak, saya mau cari penginapan murah?.” Nihil, tidak penginapan yang tersisa di daftar dia selain sebuah penginapan seharga Rp350000 ke atas permalam.

Karena ketatnya dana yang gua persiapkan sebelumnya untuk perjalanan ini. Akhirnya dana yang ada tidak “siap” untuk membayar pembiayaan untuk tempat tinggal yang di atas budget tersebut. Setelah berfikir, akhirnya gua pun terpaksa menggunakan kartu kredit untuk membayarnya!.

***

Setelah beberapa hari tinggal di sebuah hotel mewah. Akhirnya gua pun memutuskan untuk pindah ke penginapan murah di salah satu tempat backpacker terkenal di daerah Kuta.

Poppis Lane adalah suatu gang yang terletak tidak jauh dari pantai Kuta. Katakanlah jarah gang itu dengan pantai hanya berjarak beberapa meter saja. “Tinggal nyebrang jalan udah sampe ke pantai”.

Di dalam gang tersebut terdapat jajaran penginapan murah dengan harga yang sangat terjangkau. Setelah mencari, akhirnya mendapat sebuah penginapan seharga Rp60000 semalam. Gua cukup senang dengan kondisi penginapan tersebut, dengan harga yang cukup murah gua sudah mendapat satu buah kamar dengan fasilitas: kamar mandi dalam, kipas angin gantung, dan dua buah kasur pegas, serta sebuah lemari pakaian.

Hanya saja.. Ada satu hal yang baru gua sadari saat gua tinggal di sini.. hihi.. (ini benar-benar lo harus tau).

Walaw tidak terlalu bersih, tapi pantai Kuta terkenal akan ombaknya. Dari sini pun kita bisa melihat lalu lintas pesawat yang sedang berlalu-lalang di bandara Ngurah Rai dengan jelas.

Sejauh mata menerawang, banyak sekali beach boys berselancar di sini. Mereka terdiri dari peselancar lokal maupun asing. Karena lokasinya yang cukup dekat dengan pantai. Banyak dari peselancar asing tersebut memilih tinggal di gang Poppies Lane ini.

Dalam suatu pembicaraan gua dengan seorang yang bekerja di penginapan tempat gua tinggal. Dia memberitahu bahwa banyak dari bule-bule perempuan tersebut mempunyai pacar seorang “beach boy”.

Kultur barat sangat berbeda dengan Asia tentang masalah perpacaran ini. Jika orang Asia sangat kental dengan budaya kesopanannya. Maka orang Barat lebih sebaliknya.

***

Setelah lelah selama seharian berjalan mengelilingi Kuta dan Legian dengan motor. Akhirnya gua pun memutuskan untuk tidur lebih cepat. Tak beberapa lama setelah gua terlelap, tiba-tiba gua merasa seidkit terganggu. Gua mendengar suara samar-samar mengatakan sesuatu dari luar kamar.

Dekat.. dekat.. dan semakin dekat.. Bahkan jika didengarkan akan semakin jelas dan semakin keras.. Karena takut, otomatis gua pun terbangun..

tiga kata yang diteriakkan berkali-kali oleh sesosok suara itu dari luar kamar..

“OH YES.. OH NO.. OH YES.. NO.. YES.. YES.. YES.. OH.. NOOOO!! AA... YES..”

“Sialan!.” Tanpa malunya pasangan bule dan beach boy di sebelah kamar mengekspresikan hubungan intim mereka dengan sangat jelas dan lepas, tanpa mempedulikan kenyamanan penghuni lain sama sekali!.

***

Esok malamnya gua pergi mengunjungi Monumen Bom Bali I di Jalan Legian. Tempat ini menjadi saksi duka bagi 202 nama korban yang menjadi saksi kebiadaban manusia saat itu. Dia berdiri di kawasan Legian yang sangat terkenal dengan jajaran pub, kafe, butik, serta pusat perbelanjaannya.

Ada yang disayangkan mengenai kawasan ini. Saat gua di sana, saat itu sedang musim hujan, hujan hampir turun setiap saat yang membuat perjalanan gua ke sana waktu itu menjadi kurang menarik.

Tapi, daerah Legian yang terkenal dengan kemeriahan malamnya tersebut tiba-tiba dilanda banjir yang menutup hingga separuh jalan.

Saat itu gua sempat melihat seorang bule perempuan yang sudah berpenampilan anggun tapi tiba-tiba dia harus melepas sepatu Gucci miliknya hanya untuk menghindari genangan air.

“Sepatu Gucci miliknya menjadi saksi bisu kebiadaban hujan malam itu.”

***

Tidak banyak tempat yang gua kunjungi saat itu. Hujan deras yang turun setiap saat membuat gua jarang melakukan perjalanan yang benar-benar panjang di sana.

Gua menyewa sebuah motor, dengan sebuah peta sebagai navigasi untuk pergi ke mana-mana. Waktu tempuh yang seharusnya satu jam hanya satu jam, bisa berubah menjadi empat jam setelah tersasar di sana-sini.

Dalam suatu perjalanan kea rah pura Besakih waktu itu, tiba-tiba gua ingat dengan petuah dari orang tua yang selalu mereka katakana sewaktu gua kecil dulu, “Nak, jangan mudah percaya dengan orang asing ya”.

Pengalaman kurang menyenangkan berurusan dengan orang asing gua temui saat gua baru saja sampai di Pura Besakih waktu itu. Saat gua baru turun dari kendaraan, tiba-tiba ada seseorang yang langsung menjadi pemandu dadakan (tanpa gua minta). Lalu dia mengantar gua mengelilingi pura, sambil meminta imbalan setelahnya.

Karena saat itu gua hanya memegang uang Rp50000. Akhirnya gua pun menyerahkan selembar uang biru itu dengan berat hati. “Biasanya saya dibayar lebih, dan pake mata uang asing.”gumamnya.

"Maaf Bli, saya masih mahasiswa. Saya ke sini dalam rangka liburan, kalau memang ada ATM di sini, mungkin saya bisa ambil uang sebesar yang Bli minta, tapi sayangnya di sini ga ada ATM. Dan sekarang saya cuma bawa uang segini."

Untungnya lokasi pura tersebut terletak jauh dari peradaban dan dikelilingi oleh hutan-hutan, otomatis saat itu gua yakin lah, tidak mungkin ada ATM di sana.. hehe

Tapi, orang itu malah semakin ngotot dan tidak percaya. Sampai akhirnya pada suatu titip gua pun meledak dan berkata,

"GUA BILANG GUA GA ADA UANG LAGI DI DOMPET!! AMBIL ATAU LUPAIN!!"

Setelah itu, barulah orang tersebut pergi tanpa menoleh ke gua lagi.

0 komentar:

Posting Komentar